Nafs Dalam Al Quran
Kata nafs memiliki beberapa makna, yaitu
diri atau pribadi atau orang (person), nafsu, roh atau jiwa (soul), niat
atau kehendak, hati, dan lain-lain. Bentuk jamak dari nafs adalah
anfiis atau nufûs, Di dalam Al Qur’an, kata nafs dalam berbagai bentuk
derivasinya ditemukan sebanyak 295 kali. Kata-kata nafs tersebut
memiiiki cakupan dan rnacam makna yang sangat banyak. Makna-makna nafs
tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Kata nafs yang bermakna diri, pribadi, atau person bisa ditujukan kepada manusia dan bisa pula ditujukan kepada zat Yang Maha Agung, yakni Allah SWT. Ketika nafs dipakaikan untuk “din” Allah SWT, maka nafs itu dapat berarti zat atau sifat Allah. Nafs dalam makna zat Allah terdapat dalam beberapa ayat Al Qur’an antara lain surat al-Maidah (5) ayat 116 yang artinya: “...Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku (nafsi) dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau (nafsika). Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib.” Dalam surat Thaha (20) ayat 41 yang artinya: “dan Aku telah memilihmu (hai Musa) untuk diri-Ku (nafsi). Demikian juga dalam surat al-An'am (6) ayat 12 yang artinya: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas diri-Nya (nafsihi) kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.” Ketika ayat di atas memakai kata nafs untuk menunjukkan zat Allah.
Adapun kata nafs yang menunjuk kepada sifat Allah dapat dilihat dalam surat Ali 'Imran (3) ayat 28 yang artinya: “Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya (nafsihi). Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” Kata nafs pada ayat ini menunjukkan kepada salah satu sifat Tuhan, yaitu al-Muntaqim (Yang Maha pembalas).
Kata nafs dalam pengertian diri, orang, atau pribadi manusia ditujukan kepada totalitas manusia. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah (5) ayat 32 yang artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang .manusia (nafsan), bukan karena orang itu (membunuh) orang lain (nafsin), atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya....” Kata nafs pada ayat ini adalah sinonim dari kata al-nds (manusia), yaitu menunjuk kepada diri manusia secara keseluruhan yang merupakan kesatuan dari aspek flsik dan non-fisik.
Kata nafs dengan makna yang sama dengan di atas juga dipakai pada surat al-Nisa’ (4) ayat 1 yang menceritakan tentang awal penciptaan manusia. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Ayat ini menerangkan kesatuan asal seluruh manusia, yaitu bahwa seluruh manusia berasal dari nafs wâhidah (diri, orang, pribadi yang satu). Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan diri yang satu pada ayat ini adalah Nabi Adam a.s.
Kata nafs digunakan juga untuk menunjukkan apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku sebagaimana yang dimaksud oleh surat al-Ra'd (13) ayat 11 yang artinya: “...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (anfusahum)...” Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna dengan fungsi menampung dan mendorong manusia untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Maka tergantung kepada manusia mengarahkan nafs tersebut. Allah berfirman dalam surat al-Syams (91) ayat 7-10 yang artinya: “Demi jiwa (nafs) serta penyempurnaan ciptaan-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Mengilhamkan pada ayat ini berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan atau keburukan.
Al Qur’an menegaskan bahwa nafs memiliki potensi positif dan negatif secara berimbang sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syams diatas. Akan tetapi, terdapat pula kecenderungan sebagian kalangan yang mengartikan nafs dalam makna yang lebih kepada negatif. Dalam terminologi kaum sufi misalnya, nafs diartikan dengan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pemaknaan negatif terhadap nafs mungkin berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran sendiri yang sebagian menginformasikan sifat negatif dari nafsu. Misalnya surat Yusuf (12) ayat 53 yang artinya: “...karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahniat oleh Tuhanku... “ Padahal sesungguhnya terdapat juga ayat-ayat lain yang menonjolkan sifat positif dari nafsu. Misalnya surat al-Baqarah (2) ayat 286 yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya (kasabat) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (iktasabat)” Kata kasabat dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan kata iktasabat biasanya digunakan untuk hal-hal yang sulit dan berat. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa nafs lebih mudah untuk melakukan hal-hal yang baik dari pada melakukan hal-hal yang buruk.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam pada diri manusia yang memiliki potensi baik dan buruk. Dalam hal ini, nafs ada yang diartikan dengan natsu, jiwa, dan ruh. Kata nafs yang bermakna nafsu dalam pengertian sehari-hari antara lain terdapat dalam surat Yusuf (12) ayat 53 yang artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Pada ayat ini, nafs diartikan dengan nafsu, tepatnya hawa nafsu, yaitu suatu bagian integral dari diri manusia yang selalu mempunyai kecenderungan negatif Nafsu tersebut berlawanan dengan dan diimbangi oleh dua komponen lain pada diri manusia, yaitu hati yang memiliki kecenderungan positif dan akal yang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kata nafs dapat juga bermakna jiwa atau ruh. Kata nafs dengan makna ini antara lain terdapat dalam al-Quran surat al-Fajr (89) ayat 27-30 yang artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Ayat ini menerangkan salah satu macam dari jiwa, yakni nafsu muthmainnah. Dua macam nafsu lainnya nafsu amarah dan nafsu lawwâmah. Dalam tafsir Qurthubi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tenang, ikhlas dan yakin. Tenang karena selalu berzikir kepada Allah, mendapatkan ganjaran yang baik, dan terbebas dari azab yang pedih. Ikhlas dalam pengertian menerima segala ketetapan Allah SWT. Kemudian yakin kepada Tuhan dan terhadap janji-janji yang termuat dalam kitab-Nya. Al-nafs al-muthmainnah adalah tingkat dan kualitas perkembangan jiwa yang paling tinggi yang bisa dicapai manusia.
Kata nafs dalam pengertian jiwa atau roh juga terdapat dalam al-Anbiya’ (21) ayat 35 yang artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” Ayat ini menerangkan bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mengalami proses kematian. Kematian diartikan dengan berpisahnya roh dengan jasad manusia. Dengan demikian, roh pada hakekatnya sama dengan jiwa atau nama lain dari jiwa itu sendiri.
Akan tetapi terdapat kebiasaan penggunaan yang berbeda antara roh dengan jiwa. Kata roh dipakai ketika belum menyatunya dengan jasad atau ketika telah berpisah dengan jasad setelah terjadi kematian. Hal ini terlihat dalam firman Allah dalam surat al-Sajadah (32) ayat 9 yang artinya: “Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati. (Tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Sedangkan istilah jiwa digunakan setelah menyatunya antara roh dan jasad Jiwa inilah yang menjadi motor penggerak kehidupan manusia. Pada ayat 9 surat al-Sajadah di atas terlihat bahwa setelah roh menyatu dengan jasad (menjadi “jiwa”), maka barulah muncul kemampuan-kemampuan dalam din” manusia seperti mendengar, melihat, dan merasai.
Dr. Adnan Syarif, seorang pakar psikologi Islam kontemporer, juga mengemukakan perbedaan antara jiwa dan ruh berdasarkan penelitian dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran. Menurut Adnan Syarif, jiwa bukanlah ruh. Jika jiwa adalah ruh, maka apa yang pergi ke alam barzah ketika manusia mati? Siapa pula yang memohon kepada Allah SWT agar dikembalikan kepada kehidupan dunia setelah manusia itu mati? Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu'minun (23) ayat 99-100 yang artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.”
Oleh sebab itu, lanjut Syarif, ruh adalah subtansi yang menjadi unsur penyebab dan penggerak pertama bagi segala kehidupan. Pusat ruh tersebut terdapat dalam kalbu (hati). Dari kalbu, ruh tersebut tersebar melalui darah kepada setiap sel-sel tubuh sehingga muncullah kehidupan di dalamnya. Jadi kalbu merupakan stasiun transmisi utama. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh manusia, demikian pula sebaliknya. Jadi ruh merupakan inti. Dia saling berinteraksi secara erat dengan akal dan jiwa. Jiwa merupakan sumber seluruh emosi, gejala psikis, serta refleksi yang bersifat fisik terhadap tubuh. Sementara itu, akal yang memiliki kemampuan berfikir dan otak sebagai alatnya diberi tugas kepemimpinan oleh Allah untuk menunjuki jalan kebenaran dan merealiasikan berbagai keinginan dan dorongan kejiwaan.
Dengan demikian, kata nafs dalam perspektif al-Quran memiliki banyak makna, yaitu diri, nafsu, roh atau jiwa (soul), niat atau kehendak, hati, dan lain-lain. Kata nafs ada yang dipakaikan kepada Allah SWT yang menunjuk kepada zat atau sifat Allah. Di samping itu ada juga yang dipakaikan kepada manusia yang menunjukkan kepada totalitas manusia atau kepada bagian-bagian dari manusia tersebut.
Kata nafs yang bermakna diri, pribadi, atau person bisa ditujukan kepada manusia dan bisa pula ditujukan kepada zat Yang Maha Agung, yakni Allah SWT. Ketika nafs dipakaikan untuk “din” Allah SWT, maka nafs itu dapat berarti zat atau sifat Allah. Nafs dalam makna zat Allah terdapat dalam beberapa ayat Al Qur’an antara lain surat al-Maidah (5) ayat 116 yang artinya: “...Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku (nafsi) dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau (nafsika). Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib.” Dalam surat Thaha (20) ayat 41 yang artinya: “dan Aku telah memilihmu (hai Musa) untuk diri-Ku (nafsi). Demikian juga dalam surat al-An'am (6) ayat 12 yang artinya: “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas diri-Nya (nafsihi) kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.” Ketika ayat di atas memakai kata nafs untuk menunjukkan zat Allah.
Adapun kata nafs yang menunjuk kepada sifat Allah dapat dilihat dalam surat Ali 'Imran (3) ayat 28 yang artinya: “Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya (nafsihi). Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” Kata nafs pada ayat ini menunjukkan kepada salah satu sifat Tuhan, yaitu al-Muntaqim (Yang Maha pembalas).
Kata nafs dalam pengertian diri, orang, atau pribadi manusia ditujukan kepada totalitas manusia. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah (5) ayat 32 yang artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang .manusia (nafsan), bukan karena orang itu (membunuh) orang lain (nafsin), atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya....” Kata nafs pada ayat ini adalah sinonim dari kata al-nds (manusia), yaitu menunjuk kepada diri manusia secara keseluruhan yang merupakan kesatuan dari aspek flsik dan non-fisik.
Kata nafs dengan makna yang sama dengan di atas juga dipakai pada surat al-Nisa’ (4) ayat 1 yang menceritakan tentang awal penciptaan manusia. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Ayat ini menerangkan kesatuan asal seluruh manusia, yaitu bahwa seluruh manusia berasal dari nafs wâhidah (diri, orang, pribadi yang satu). Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan diri yang satu pada ayat ini adalah Nabi Adam a.s.
Kata nafs digunakan juga untuk menunjukkan apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku sebagaimana yang dimaksud oleh surat al-Ra'd (13) ayat 11 yang artinya: “...Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (anfusahum)...” Nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna dengan fungsi menampung dan mendorong manusia untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Maka tergantung kepada manusia mengarahkan nafs tersebut. Allah berfirman dalam surat al-Syams (91) ayat 7-10 yang artinya: “Demi jiwa (nafs) serta penyempurnaan ciptaan-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Mengilhamkan pada ayat ini berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan atau keburukan.
Al Qur’an menegaskan bahwa nafs memiliki potensi positif dan negatif secara berimbang sebagaimana disebutkan dalam surat al-Syams diatas. Akan tetapi, terdapat pula kecenderungan sebagian kalangan yang mengartikan nafs dalam makna yang lebih kepada negatif. Dalam terminologi kaum sufi misalnya, nafs diartikan dengan sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk. Pemaknaan negatif terhadap nafs mungkin berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran sendiri yang sebagian menginformasikan sifat negatif dari nafsu. Misalnya surat Yusuf (12) ayat 53 yang artinya: “...karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahniat oleh Tuhanku... “ Padahal sesungguhnya terdapat juga ayat-ayat lain yang menonjolkan sifat positif dari nafsu. Misalnya surat al-Baqarah (2) ayat 286 yang artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya (kasabat) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (iktasabat)” Kata kasabat dalam bahasa Arab biasanya digunakan untuk pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan kata iktasabat biasanya digunakan untuk hal-hal yang sulit dan berat. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan bahwa nafs lebih mudah untuk melakukan hal-hal yang baik dari pada melakukan hal-hal yang buruk.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk kepada sisi dalam pada diri manusia yang memiliki potensi baik dan buruk. Dalam hal ini, nafs ada yang diartikan dengan natsu, jiwa, dan ruh. Kata nafs yang bermakna nafsu dalam pengertian sehari-hari antara lain terdapat dalam surat Yusuf (12) ayat 53 yang artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Pada ayat ini, nafs diartikan dengan nafsu, tepatnya hawa nafsu, yaitu suatu bagian integral dari diri manusia yang selalu mempunyai kecenderungan negatif Nafsu tersebut berlawanan dengan dan diimbangi oleh dua komponen lain pada diri manusia, yaitu hati yang memiliki kecenderungan positif dan akal yang memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kata nafs dapat juga bermakna jiwa atau ruh. Kata nafs dengan makna ini antara lain terdapat dalam al-Quran surat al-Fajr (89) ayat 27-30 yang artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Ayat ini menerangkan salah satu macam dari jiwa, yakni nafsu muthmainnah. Dua macam nafsu lainnya nafsu amarah dan nafsu lawwâmah. Dalam tafsir Qurthubi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tenang, ikhlas dan yakin. Tenang karena selalu berzikir kepada Allah, mendapatkan ganjaran yang baik, dan terbebas dari azab yang pedih. Ikhlas dalam pengertian menerima segala ketetapan Allah SWT. Kemudian yakin kepada Tuhan dan terhadap janji-janji yang termuat dalam kitab-Nya. Al-nafs al-muthmainnah adalah tingkat dan kualitas perkembangan jiwa yang paling tinggi yang bisa dicapai manusia.
Kata nafs dalam pengertian jiwa atau roh juga terdapat dalam al-Anbiya’ (21) ayat 35 yang artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” Ayat ini menerangkan bahwa setiap yang berjiwa pasti akan mengalami proses kematian. Kematian diartikan dengan berpisahnya roh dengan jasad manusia. Dengan demikian, roh pada hakekatnya sama dengan jiwa atau nama lain dari jiwa itu sendiri.
Akan tetapi terdapat kebiasaan penggunaan yang berbeda antara roh dengan jiwa. Kata roh dipakai ketika belum menyatunya dengan jasad atau ketika telah berpisah dengan jasad setelah terjadi kematian. Hal ini terlihat dalam firman Allah dalam surat al-Sajadah (32) ayat 9 yang artinya: “Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati. (Tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Sedangkan istilah jiwa digunakan setelah menyatunya antara roh dan jasad Jiwa inilah yang menjadi motor penggerak kehidupan manusia. Pada ayat 9 surat al-Sajadah di atas terlihat bahwa setelah roh menyatu dengan jasad (menjadi “jiwa”), maka barulah muncul kemampuan-kemampuan dalam din” manusia seperti mendengar, melihat, dan merasai.
Dr. Adnan Syarif, seorang pakar psikologi Islam kontemporer, juga mengemukakan perbedaan antara jiwa dan ruh berdasarkan penelitian dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran. Menurut Adnan Syarif, jiwa bukanlah ruh. Jika jiwa adalah ruh, maka apa yang pergi ke alam barzah ketika manusia mati? Siapa pula yang memohon kepada Allah SWT agar dikembalikan kepada kehidupan dunia setelah manusia itu mati? Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu'minun (23) ayat 99-100 yang artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.”
Oleh sebab itu, lanjut Syarif, ruh adalah subtansi yang menjadi unsur penyebab dan penggerak pertama bagi segala kehidupan. Pusat ruh tersebut terdapat dalam kalbu (hati). Dari kalbu, ruh tersebut tersebar melalui darah kepada setiap sel-sel tubuh sehingga muncullah kehidupan di dalamnya. Jadi kalbu merupakan stasiun transmisi utama. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh manusia, demikian pula sebaliknya. Jadi ruh merupakan inti. Dia saling berinteraksi secara erat dengan akal dan jiwa. Jiwa merupakan sumber seluruh emosi, gejala psikis, serta refleksi yang bersifat fisik terhadap tubuh. Sementara itu, akal yang memiliki kemampuan berfikir dan otak sebagai alatnya diberi tugas kepemimpinan oleh Allah untuk menunjuki jalan kebenaran dan merealiasikan berbagai keinginan dan dorongan kejiwaan.
Dengan demikian, kata nafs dalam perspektif al-Quran memiliki banyak makna, yaitu diri, nafsu, roh atau jiwa (soul), niat atau kehendak, hati, dan lain-lain. Kata nafs ada yang dipakaikan kepada Allah SWT yang menunjuk kepada zat atau sifat Allah. Di samping itu ada juga yang dipakaikan kepada manusia yang menunjukkan kepada totalitas manusia atau kepada bagian-bagian dari manusia tersebut.
Nafas sangat luar biasa karena tanpa nafas kehidupan ini pun tak kan ada
BalasHapus